Jumat, 21 Oktober 2016

Atas Nama Ketidakberdayaan, Kita yang Tak Seiman Harus Saling Melepaskan Genggaman

Aku tidak tahu sejak kapan keresahan itu melanda jiwa kita. Jarum jam yang melaju kita lewati dengan langkah yang ragu-ragu. Ada semacam rasa khawatir luar biasa yang tak kunjung reda di dalam dada: Perbedaan kita, mampukah kita buat tiada? 
 
 
Kita sama-sama tahu, bahwa saat ini kita hanya menjalani kebersamaan semu yang terlalu rapuh. Sebab, suka tidak suka, mau tidak mau, kita akan sampai di persimpangan yang memaksa kita untuk mengambil jalan yang berlainan. Bukan berdampingan. Sebab, dalam perbedaan kita, terkandung janin perpisahan yang bisa lahir kapan saja tanpa kita bisa menolaknya.
 
 
 
 
Harusnya kita bersyukur atas pertemuan ini. Tapi mengapa Tuhan menuliskan takdir dengan akhir yang getir?
 
 
Aku takut. Kamu juga kalut. Kita mendadak menjadi manusia yang pengecut. Masing-masing dari kita mulai menyalahkan pertemuan yang menciptakan cinta dan luka dalam satu paket yang sama. Tapi, bukankah menyalahkan pertemuan berarti juga menyalahkan Tuhan? Dan itu bukanlah sesuatu yang pantas dilakukan oleh manusia seperti kita.
 
 
Justru seharusnya kita bersyukur atas pertemuan yang telah diciptakan oleh tangan yang Maha Kuasa. Sebab pertemuan kita telah merajut hal-hal indah yang kelak akan kita kenang dengan senyuman. Meski begitu, barangkali tetap ada hal yang sangat disesalkan: Mengapa Tuhan juga menuliskan takdir dengan akhir yang getir?
 
 
Kata mereka �Amour Vincit Omnia�. Bahwa cinta mengalahkan segalanya. Tetapi bagi kita, cinta begitu tak berdaya ketikas berhadapan dengan satu kenyataan Tuhanku dan Tuhanmu berbeda.
Kita mengerti tidak ada pertemuan yang berjalan abadi tanpa ada perpisahan yang kelak terjadi. Mungkin, bukan kehendak Tuhan untuk mempersatukan setelah mempertemukan. Dan kita yang tak punya daya tak lagi bisa berbuat apa-apa selain dengan tega membunuh cinta atas nama ketidakberdayaan jiwa.
 
 
 
Mungkin yang mereka katakan itu benar adanya. Cinta yang terpaut perbedaan iman adalah sebuah ujian.
 
 
Sejak awal, kitalah yang terlalu egois. Memaksakan diri untuk saling menautkan hati meski kita tahu ada batas yang tidak akan mampu kita lalui. Lantas atas nama perasaan yang berbunga-bunga kita berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Hingga kita sampai pada waktu di mana kita sadar, bahwa kita tidak bisa selamanya menipu diri. Bahwa kita butuh kepastian.
 
 
Kita yang terlanjur berbeda akan membawa cinta ini kemana? Aku yang berlari menujumu, atau kamu yang mengikutiku? Walau bagaimanapun juga, kebersamaan kita terlalu rapuh. Tetapi kita belum siap untuk menjauh.
 
 
Jika kita mau jujur, cinta yang kita coba pertahankan tak kan sebanding dengan cinta yang Tuhan kita berikan. Mungkin benar apa yang mereka katakan, bahwa cinta yang terpaut perbedaan iman adalah sebuah ujian apakah kita lebih mencintai Tuhan atau justru berbalik meninggalkan.
 
http://tagihjanji.blogspot.co.id/2016/10/atas-nama-ketidakberdayaan-kita-yang.html